FAQ

Taxprime Academy juga memberikan pelayanan gratis kepada Wajib Pajak untuk mengetahui dan memahami pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul terkait dengan PPSWP. Kami mengumpulkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tersebut dari sumber-sumber yang tersedia secara online maupun offline. Namun demikian, jika masih ada yang kurang jelas atau belum ada di PPSWP FAQ, maka Wajib Pajak dapat menanyakannya melalui PPSWP eConsulting atau melalui PPSWP App yang dapat di-download melalui telepon atau gawai yang dimiliki.

Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak yang disingkat dengan PPSWP adalah program pengungkapan harta bersih secara sukarela atas harta yang diperoleh Wajib Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau infomasi mengenai harta tersebut. Sementara itu, menurut penjelasan dalam laman pajak.go.id, Program pengungkapan sukarela merupakan program yang memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela. Dalam bahasa Inggris, hal itu disebut dengan voluntary disclosure program (VDP) yaitu kesempatan yang ditawarkan otoritas pajak terhadap wajib pajak yang sebelumnya tidak patuh untuk memperbaiki kewajiban pajaknya berdasarkan persyaratan yang ditentukan (OECD, 2015)

Pada prinsipnya PPSWP dan tax amnesty hampir sama karena substansinya adalah melaporkan jumlah harta bersih yang sebelumnya tidak dimasukkan dalam SPT Tahunan wajib pajak. Dilihat dari cara penghitungannya pajak yang harus dibayar (jika dalam tax amnesty disebut dengan uang tebusan), yang dilakukan dengan cara mengurangi harta yang belum dilaporkan dengan jumlah hutang yang terkait.

Betul, PPSWP jika ditelaah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, memang ada dua jenis dengan beberapa penamaan yang sedikit berbeda. Ada yang bilang PPSWP Kondisi I dan PPSWP Kondisi II, PPSWP Skema I dan PPSWP Skema II, atau terkadang disebut dengan PPSWP I dan PSWP II. Dalam hal ini, kami lebih memilih mengklasisikasikan PPSWP menjadi PPSWP I dan PPWSP II karena lebih simple dan tetap mengena maksudnya.

  • PPSWP I adalah program pengungkapan harta bersih yang diperoleh WP Badan dan WP Orang Pribadi sejak tanggal 1 Januari 1985 s.d. 31 Desember 2015 dan atas harta tersebut belum ditemukan data dan/atau infomasinya oleh Direktur Jenderal Pajak.
  • PPSWP II adalah program pengungkapan harta bersih yang diperoleh WP Orang Pribadi sejak tanggal 1 Januari 2016 s.d. 31 Desember 2020 dan atas harta tersebut belum ditemukan data dan/atau infomasinya oleh Direktur Jenderal Pajak.

Menurut Pemerintah, latar belakang diadakannya Program PPSWP dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu: Program Pengampunan Pajak, (ii) kepatuhan WP Orang Pribadi, dan (iii) data dari pertukaran data otomatis dan ILAP.

Pertama, masih terdapat peserta  yang belum mendeklarasikan seluruh aset pada saat  amnesti pajak dan apabila ditemukan oleh DJP akan dikenai PPh Final (PP-36/2017) yang dirasakan terlalu tinggi ditambah sanksi sebesar 200% (Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pengampunan Pajak). Kedua, masih terdapat WP OP yang belum mengungkapkan seluruh penghasilan dalam SPT Tahunan 2016 s.d. 2020. Ketiga, dengan adanya data dari pertukaran data otomatis (AEoI) dan data perpajakan dari ILAP, sedangkan WP belum mendeklarasikan seluruh aset dan penghasilan, sehingga perlu diberikan kesempatan secara sukarela untuk memenuhi kewajiban pajak.

Kemudian, yang merupakan salah satu faktor yang tidak kalah pentingnya sebagai dasar adanya PPSWP atau Amnesti Pajak Jilid II, adalah pasokan data dari ILAP (instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain) yang juga sifatnya otomatis, yang diatur dalam Pasal 35A UU KUP[1] dan PERPPU 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.[2] Pasal  35A ayat (1) UU KUP mengatur bahwa “Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak.…”. Sementara itu, di ayat berikutnya yaitu Pasal  35A ayat (2) UU KUP, mengatur bahwa “Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara…”.

Sedangkan, PERPPU 1 Tahun 2017, menunjukkan komitmen Indonesia untuk mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis berdasarkan Common Reporting Standard (CRS), yang disusun oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dan G2O. Sebagai akibatnya, maka data keuangan Warga Negara Indonesia dari lebih dari 100 negara telah dapat dihimpun oleh Pemerintah secara otomatis.

[1] UU KUP yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor… tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

[2] PERPPU ini telah diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang

Pemerintah menegaskan bahwa tujuan Program PPSWP atau yang  terkadang masyarakat menyebutnya sebagai Pengampunan Pajak Jilid II adalah semata-mata untuk meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak (WP). Oleh karena itu, Pemerintah tidak menargetkan jumlah pendapatan yang masuk dari pelaksanaan program tersebut. PPSWP sebetulnya  akan memberikan kesempatan pengungkapan sukarela kepada wajib pajak yang selama ini belum melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar di dalam SPT Tahunan atau ketika wajib pajak mengikuti Pengampunan Pajak di tahun 2016/2017. Program ini sebagai tawaran dari pemerintah kepada para wajib pajak untuk mematuhi sistem perpajakan.

Pemerintah memprediksi bahwa dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), maka akan bisa menambah penerimaan pajak Rp 139,3 triliun pada tahun depan dari target yang telah ditetapkan. Secara total, dengan berlakunya UU HPP, penerimaan perpajakan pada 2022 penerimaan perpajakan akan mencapai Rp1.649 triliun. Kemudian, pada 2023 diperkirakan penerimaan mencapai Rp 1.811,1 triliun dengan rasio 9,29%.

Asas-asas dalam penyelenggaraan PPWSP terdiri dari 6 (enam) yaitu:

  1. Asas keadilan adalah pengaturan perpajakan menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban setiap pihak yang terlibat.
  2. Asas kesederhanaan adalah pengaturan perpajakan harus dapat memberikan kemudahan pelayanan kepada masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajibannya.
  3. Asas efisiensi adalah pengaturan perpajakan harus berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil kerja yang terbaik.
  4. Asas kepastian hukum adalah pengaturan perpajakan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
  5. Asas kemanfaatan adalah pengaturan perpajakan bermanfaat bagi kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat, khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum.
  6. Asas kepentingan nasional” adalah pelaksanaan perpajakan mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di atas kepentingan lainnya.

Banyak faktor atau alasan mengapa Wajib Pajak seharusnya mengikuti PPSWP, yaitu:

  1. Basis data pemerintah semakin luas dan lengkap
  2. Penerapan single identity number bagi wp orang pribadi
  3. Penerapan big data analytics untuk menguji kepatuhan perpajakan
  4. Jaminan kepastian hukum kepada peserta ppswp, berupa:
    1. Bebas dari sanksi administratif perpajakan
    2. Tidak dilakukan tindakan pemeriksaan pajak
    3. Data dalam PPSWP I terbebas dari law enforcement
  5. Tarif pajak dalam ppswp sangat rendah & mitigasi risiko pajak secara signifikan
  6. Wajib pajak dapat lebih fokus ke bisnisnya

The three golden benefits dalam PPSWP adalah tiga manfaat penting yang akan diperoleh Wajib Pajak jika mengikuti PPSWP, yaitu:

  1. No Tax Audit: Tidak diterbitkan ketetapan pajak atas kewajiban perpa-jakan untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan Tahun Pajak 2020, kecuali ditemukan data dan/atau informasi lain mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPPH. Dikarekanan ketetapan pajak hanya dapat diterbitkan melalui pemeriksaan, maka dalam hal ini, maksud dari pernyataan tersebut sesungguhnya bagi WP yang mengikuti PPSWP sama dengan tidakan akan dilakukan pemeriksaan pajak.
  2. No More 200% Penalty:Wajib Pajak yang telah memperoleh surat ketera-ngan penyampaian SPPH, tidak dikenai sanksi administratif (200% dari pokok pajak yang tidak/kurang dibayar)  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampu-nan Pajak.
  3. No Law Enforcement: Data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkai-tan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.

PPSWP I (Pasal 5 – 7 )

Pengungkapan harta bersih oleh Wajib Pajak baik yang sama sekali belum ataupun kurang diungkapkan dalam surat pernyataan dapat dilakukan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung Pajak Penghasilan terkait harta tersebut sehingga data dan/atau informasi mengenai harta yang dimaksud belum ditemukan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Tidak bisa. PPSWP I hanya diperuntukkan bagi Wajib Pajak yang sebelumnya pernah mengikuti Tax Amnesty I dan untuk perolehan harta sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015.

Ya, Wajib Pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud. Harta yang dimaksud merupakan harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015.

Nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah harta bersih ditentukan berdasarkan:

    1. nilai nominal, untuk harta berupa kas atau setara kas;
    2. nilai yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Nilai Jual Objek Pajak, untuk tanah dan/atau bangunan dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor, untuk kendaraan bermotor;
    3. nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang , untuk emas dan perak;
    4. nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia, untuk saham dan waran (warrant) yang diperjualbelikan di PT Bursa Efek Indonesia; dan/atau
    5. nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia, untuk surat berharga negara dan efek bersifat utang dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh perusahaan, sesuai kondisi dan keadaan harta pada akhir Tahun Pajak terakhir.

Surat pemberitahuan pengungkapan harta dapat disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022.

“Surat pemberitahuan pengungkapan harta” adalah surat yang digunakan oleh Wajib pajak untuk mengungkapkan paling sedikit identitas Wajib pajak, harta, utang, harta bersih, serta penghitungan dan pembayaran pajak Penghasilan terutang yang bersifat final

Surat pemberitahuan pengungkapan harta harus dilampiri dengan:

    • bukti pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final;
    • daftar rincian harta beserta informasi kepemilikan harta yang dilaporkan;
    • daftar utang;
    • pernyataan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah NKRI, dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI ke dalam wilayah NKRI; dan
    • pernyataan akan menginvestasikan harta bersih pada:
      • kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI; dan/atau
      • surat berharga negara;

dalam hal Wajib Pajak bermaksud menginvestasikan harta bersih.

Bukti pembayaran Pajak Penghasilan berupa Surat Setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak dan telah mendapatkan validasi dari pihak penerima pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tidak. Wajib Pajak yang telah menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta dan kemudian telah memperoleh surat keterangan dari Direktur Jenderal Pajak tidak akan dikenai sanksi administratif terkait Pengampunan Pajak. Adapun harta bersih yang kemudian diungkapkan oleh Wajib Pajak tersebut akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan bersifat final.

Apabila dari hasil penelitian diketahui terdapat ketidaksesuaian antara harta bersih yang diungkapkan dengan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan atau membatalkan surat keterangan.

Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib mengalihkan harta dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2022.

Wajib Pajak yang menyatakan menginvestasikan harta bersih pada:

    1. kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
    2. surat berharga negara;

wajib menginvestasikan harta bersih dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2023.

Wajib Pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan (melalui skema  Tax Amnesty I) dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud. Skema tax amnesty I berlaku untuk perolehan harta sejak tahun 1985-2015.

Jika harta tidak diinvestasikan, maka tarif yang berlaku adalah tarif Pasal 5 ayat (7) sebesar 8%.

  • Jika Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPKB, maka terhadap penghasilan tersebut akan dikenai tambahan PPh final sebesar:
    • 4,5% bagi WP yang memiliki harta bersih yang berada di wilayah NKRI namun tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau SBN;
    • 4,5% bagi WP yang memiliki harta bersih di luar wilayah NKRI dan sudah dialihkan ke dalam wilayah NKRI, namun tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau SBN;
    • 7,5% bagi WP yang memiliki harta bersih di luar wilayah NKRI namun tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI, dan juga tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau SBN; atau
    • 5,5% bagi WP yang memiliki harta bersih di luar wilayah NKRI namun tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI,
  • Jika WP atas kehendak sendiri mengungkapkan penghasilan dan menyetorkan PPh terutang, maka terhadap penghasilan tersebut akan dikenai tambahan PPh final sebesar:
    • 3% bagi WP yang memiliki harta bersih yang berada di wilayah NKRI namun tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau SBN;
    • 3% bagi WP yang memiliki harta bersih di luar wilayah NKRI dan sudah dialihkan ke dalam wilayah NKRI, namun tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau SBN;
    • 6% bagi WP yang memiliki harta bersih di luar wilayah NKRI namun tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI, dan juga tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau SBN; atau
    • 4% bagi WP yang memiliki harta bersih di luar wilayah NKRI namun tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI.